Rabu, 16 September 2009

PELANGSIR BBM by Rokhmond Onasis

PELANGSIR BBM (PENJAHAT ATAU PENYELAMAT?)

Membaca di Kalteng Pos pada hari 13 Agustus 2009 lalu termuat berita tentang, pelangsir Bahan Bakar Minyak (BBM) yang ditangkap. Hal yang mengejutkan saya adalah seringnya berita tentang ini ditampilkan di Kalteng Pos. Pertanyaannya apakah sewaktu pelangsir ini mengisi bensin/ solar di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) tidak ditangkap atau ditanyakan oleh petugas SPBU?, atau yang dipikirkan oleh petugas SPBU adalah yang penting bensin/ solar yang dijual laku keras?

Yang menarik dari kasus ini adalah BBM ini adalah bagaikan air yang banyak digunakan oleh masyarakat dari kota hingga ke kampung, namun ini hanya dikuasai oleh segelintir orang di negeri ini dalam mengelolanya. Pelangsir ini (baca penjual) BBM ini merupakan salah satu pengusaha lokal yang jika dilihat dari alur kegunaannya mereka turut membantu untuk masyarakat di pelosok kampung di wilayah Kalteng ini dapat menikmati manfaat BBM.

Apakah pelangsir BBM ini disebut penyelamat?, jika dilihat dari kepentingan rakyat kecil di pelosok yang memerlukan BBM ini untuk alat transportasi maupun alat penerangan mereka (genset) mereka, wajar disebut penyelamat, karena apa yang terjadi jika masyarakat kecil berbondong-bondong ke kota hanya untuk membeli BBM yang mereka perlukan sekitar 10 liter, namun ongkos transportnya ke kota lebih besar dari ongkos beli BBM. Tentu hal ini tidak lucu bukan?

Pertanyaan kedua apakah pelangsir BBM ini disebut penjahat?, jika dilihat dari sekian banyak liter yang diambil, dan keuntungan yang didapat dari per liter minyak yang dijual, tentu sangat relative menjawab ini, karena ini tidak seberapa jika dibandingkan keuntungan yang diterima oleh pengelola SPBU di Kalteng (siapakah orangnya?...). Dari sekian liter yang dibawa oleh pelangsir BBM ini ke kampung-kampung yang jauh dipelosok pedesaan di wilayah kalteng tentu memakan biaya dan tenaga.

Semenjak pagi hari mereka sudah menyusuri jalan-jalan yang ada di Kalteng ini dengan berkeringat dan menghisap debu jalanan, pelangsir BBM yang menggunakan motor ini biasanya berjalan beriringan dengan kawan-kawan mereka, hal ini yang ditemui oleh saya ketika menyusuri jalan ke arah Kuala Kurun.

Di kesempatan lain saya pernah berbincang bincang dengan supir taksi dari arah Kuala Kurun, yang menyatakan bahwa lebih banyak oknum berbaju coklat yang menikmati razia pelangsir BBM ini. Menurut bapak supir ini sekali lewat mereka membayar Rp. 30.000,- sampai Rp. 50.000,- kepada oknum ini agar bisa lolos dan membawa tong-tong berisi BBM ini ke kampung-kampung terjauh.

Apakah ini terus dibiarkan saja, tentu tidak bukan?. Mengutip pernyataan dari Gubernur Propinsi Kalimantan Tengah, Teras Narang solusi adalah jalan masuk bukan jalan keluar karena kalau jalan keluar dia berada di luar masalah dan bukan membuka pintu masuk bagi masalah. Solusi pelangsir BBM ini menurut saya adalah para pejabat berwenang membuat peraturan yang tegas tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) penjualan BBM di wilayah masing-masing. Misalkan di daerah kabupaten Gunung Mas (Gumas) harga bensin eceran tertinggi adalah Rp. 7.000,- atau di wilayah kabupaten Murung Raya (Mura) Rp. 9.000,-. Tentu saja HET disesuaikan dengan jarak tempuh dan luas wilayah masing-masing kabupaten/ kota. Apabila ada harga yang lebih tinggi maka harus ditindak secara tegas. Ini membuat pelangsir BBM turut berfikir dalam menetapkan harga jual di pelosok kampung. Oknum-oknum yang mengambil keuntungan dari pelangsir BBM dapat ditiadakan.

Apakah pelangsir BBM penjahat atau penyelamat?, tergantung kita melihat dari mana?.

Rokhmond Onasis

Penggiat di Lembaga Dayak Panarung (LDP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar